03-12-2009
Dodol dan Molen adalah dua
sekawan yang selalu bersaing untuk meraih juara kelas, dan Dodol selalu
berhasil, berhasil dikalahkan oleh Molen. Walau demikian, persahabatan yang
sudah mereka tanam sejak SMP itu tidak akan tumbang hanya karena persoalan
rangking.
“Molen, kamu makan apa
sich, kok bisa juara kelas selalu?” tanya Dodol penasaran.
“Masa sich kamu nggak tau,
barusan kamu panggil aku apa?” balasnya.
“Molen? Emang kenapa?”
“Ya itu yang kumakan tiap hari
selain nasi. Kalo kamu suka dodol kan ?”
“Lho kok tau?”
“Ya tau-lah, namamu aja Dodol,
berarti makanan kesukaanmu dodol juga kan ?”
“Kamu betul, makanan kesukaanku
sama seperti namaku, yaitu Do-dol,” seru Dodol dengan tingkah konyolnya.
“Aku juga lho, makanan
kesukaanku sama seperti namaku, yaitu Mo-len,” sambung Molen sembari meniru gaya Dodol.
Walaupun di antara mereka
terdapat perbedaan yang cukup nyata dalam meraih prestasi, namun Molen tidak
pernah malu memiliki seorang sahabat seperti Dodol. Dodol yang katanya tolol,
konyol, cebol dan berbagai macam julukan lainnya, sama sekali tak
dipedulikannya, ia sayang dan kasihan terhadap sohibnya itu.
“Dol, ke Kantin yuk!” ajak
Molen.
“Ayuk, kebetulan aku juga lagi
lapar”
“Mau pesan apa Dek?” seru Kakak
Pelayan.
“Aku molen aja dech lima , sama jus molennya
sekalian”
“Kalo aku pesen dodol sepuluh,
sekalian jus dodolnya jangan lupa”
“Baik tunggu sebentar!” pamit si
Pelayan sopan.
“Dol, kok banyak kali, emang
habis?”
“Ya kalo nggak abiz tinggal
dimasukin kantong, beres kan ?"
Beberapa menit kemudian, makan
pun selesai…
“Kak, nie uangnya!” kasih Molen
“Dol, yuk cabut”
Di saat langkah kaki Dodol
dan Molen mulai meninggalkan Kantin, tiba-tiba Kakak Pelayan mengejar mereka
sambil teriak-teriak nyuruh berhenti, melihat kejadian tersebut, mereka pun
lari tak mau ditangkap.
“Ada apa sich Len? Kamu nggak bayar makanannya
ya?” tanya Dodol sambil lari ngos-ngosan.
“Ada kok, mungkin uangnya nggak cukup”
“Kenapa kamu nggak bilang, aku kan juga punya duit”
‘Ya mana ku tau kalo nggak
cukup”
Aksi kejar-kajaran pun
terus berlanjut, hingga Dodol dan Molen menabrak seorang guru yang sering
dipanggil dengan sebutan Bu Eri. “Aduh,” ketiganya saling mengucapkan kata yang
sama bertanda sakit.
“Molen, Dodol, Ibu mau tanya
5W+1H sama kalian,” selaku guru B.Indonesia ya itu-lah pekerjaan Bu Eri,
“Pertama What? Apa, ada
apa?”
“Kami dikejar Bu”
“Dikejar? Yang kedua Who?
Siapa yang mengejar?”
“Kakak Pelayan di Kantin”
“Pelayan di Kantin? Ketiga
When? Kapan kalian di kejar?”
“Ya ini lagi dikejar,
buruan nanyanya!”
“Oke, keempat Where? Dimana
kejadiannya?”
“Ya di sini lah masa di
Hongkong”
“Kelima Why? Kenapa kalian
lari?”
“Karena dikejar”
“Kenapa dikejar?”
“Ya karena kami lari”
“Aha, ketangkap juga kalian,” seru Kak Pelayan
sambil menghela nafas lega.
“Len, kabuuur…!” ajak
Dodol.
“Mau lari kemana hah?” bentak Bu Eri sambil memegang kerah
baju mereka.
“Ampun Kak, kami minta
maaf,” Molen dan Dodol merasa bersalah.
“Kenapa kalian mesti minta
maaf?” balasnya bingung.
“Sebenarnya ada apa sich
ini?” Bu Eri bertambah bingung.
“Molen, Dodol, ini masih
ada kembaliannya” seru Kak Pelayan sambil memenampakkan uang seribuan.
“Alah Kakak nie, macam
iklan Shampo Rejoice aja,” sahut Dodol.
“Iya, udah gitu pakek
dikejar segala lagi, kirain ada apa?” tambah Molen kesel.
“Ya sudah sini duitnya!”
pinta Dodol.
“Yuk Dol kita pergi!” ajak
Molen.
“Eh tunggu dulu, Ibu belum
tanya yang H-nya. How? Bagaimana kejadiannya?”
“Tanya sama bintang iklan
Shampo Rejoice aja Bu!” teriak Dodol
dari kejauhan.
Dodol dan Molen kini telah
jauh dari Bu Eri, mereka duduk di bawah sebatang pohon dekat kelasnya. Kejadian
konyol barusan masih menjadi bayang-bayang di benak mereka, sesekali marah
karena itu menyebalkan dan sesekali tertawa karena ada lucunya juga.
“Len, nie ambil duitmu!”
kasih Dodol.
“Duet… duet, gara-gara kamu
aku cape tau lari-lari,” seru Molen penuh sebel.
“Hah? Ternyata si Juara
kelas bisa ngomong sama uang? Coba sini aku juga mau ngomong!” pinta Dodol
sembari menarik uang yang dipegang Molen.
Ternyata Dodol tidak jadi
ngomong, karena dia melihat sederetan nomor hanphone yang tercanstum di
lembaran uang tersebut.
“Kok diam?” tanya Molen.
“Ada nomor HP Len, pasti cewe cantik nie,”
Dodol keriangan.
“Ayo catat, siapa tau dia
jadi milik kita”
“Kita? Gue aja kale, Lo
nggak”
“Jadi, bersaing lagi nie?”
“Oke siapa takut”
Dodol dan Molen yang
biasanya bersaing untuk mendapatkan juara kelas, kini malah bersaing
memperebutkan cewe yang belum jelas batang hidungnya.
Persaingan pun dimulai
dengan telfon-telfonan dan sms-an untuk mengetahui siapakah gerangan bidadari
yang menempel di lembaran seribu tersebut, mereka menanyakan berbagai macam
hal, mulai dari namanya, alamatnya, sekolahnya, bahkan nomor HP-nya pun
ditanya, padahal di lembaran uangnya sudah ditulis.
Esoknya, Molen dan Dodol
siap untuk memamerkan informasi yang telah mereka peroleh.
“Gimana Len, apa yang kamu
tau dari cewe itu?” tanya Dodol meremehkan.
“Ah kamu Dol, jangan suka
ngeremehin orang gitu-lah, aku tau banyak kok tentang dia”
“Oya, coba cerita apa aja
yang kamu tau”
“Nama lengkapnya Susu Lembu
Susu Sapi, yang disingkat dengan Su-si, Sekolahnya di Sigli dan tinggal di
Rumah sendiri,” jelas Molen singkat.
“Itu aja yang kamu tau?”
Dodol masih meremehkan Molen.
“Trus kamu tau apa coba?”
“Banyak, dia orangnya
cantik dan langsing, rambutnya agak keriting, kerjaannya nguping, dan…”
“Dan matanya juling ya?”
potong Molen.
“Nggak-lah, matanya itu
bling-bling-bling. Sungguh bidadari yang sangat kuimpikan”
“Kamu hebat ya, bisa tau
sampe sebanyak itu,” puji Molen.
“Oo pastinya donk, secara
gitu”
Tiba-tiba HP-nya Molen
bunyi.
“Eh ada SMS, dari Susi Dol,
dari Susi”
“Apa dibilang?”
“Nanti ketemuan di Cafe Keunirei ya, aku tunggu jam 4 sore”
“Hah? Dia ngajak kamu
ketemuan?” Dodol sakit hati.
“Rumus apa sich yang kamu
kasih, kok dia bisa klepek-klepek gitu sama kamu?”
“Ntahlah, rumus cinta
mungkin”
“Eh Molen, aku ikut ya
ketemuan sama Susi”
“Lho, yang diajak kan aku, bukan kamu”
“Ayolah, please…! Aku mau
liat bagaimana sich wajah seorang Susi”
“Iya dech kamu boleh ikut,”
“Yes, Susi… Mas Dodol is
coming…!!”
Waktu yang dinanti-nanti kan pun tiba, celana
jeans dengan kemeja lengan panjang terpasang sudah di tubuh dua remaja yang
sedang jatuh cinta. Dengan sedikit sentuhan Parfum Jessica, akan membuat mereka
tampak segar di depan si wanita.
"Udah siap?”
“Siap donk, yuek
berangkat!”
“Kamu bawa apa Len?”
“Aku bawa mawar putih,
kalau kamu bawa apa, kok pakek dibungkus segala?”
“Aku bawa dodol rasa
cokelat nie”
“Apa? Dodol? Kamu ini
ada-ada aja, mana mungkin dia suka dodol”
“Ntahlah, kita liat aja
ntar”
Sebuah motor butut mengaung
keras, mengeluarkan asap menghiasi jalan raya. Dodol dan Molen tampak
senyam-senyum sendiri, keduanya sangat penasaran, bagaimana sich bidadari yang
bernama Susi itu. Tak lama kemudian, motor mereka telah tida tepat di depan
cafe yang di tuju. Keduanya tampak ragu-ragu dan malu-malu untuk masuk ke
dalamnya.
“Dol, kamu masuk duluan sana , biar aku yang di
belakang,” Molen tampak ragu.
“Lho, kok aku yang duluan,
dia kan mau
ketemu sama kamu bukan sama aku”
“Ya udah, masuk barengan
aja gimana?” usul Molen.
“Good idea”
Dirapikannya kemeja yang
tampak agak kusut, diciumnya mawar yang masih segar, dan dengan PeDe, mereka
langsung masuk ke Cafe.
“Len, di sini ramai sekali,
kita nggak tau mana yang namanya Susi,” Dodol tampak bingung.
“Katanya sich dia pakek
baju putih dengan bercak-bercak hitam”
“Oo itu dia, di meja paling
ujung” Dodol langsung menemukannya.
“Iya bener, yuek ke sana !”
“Hi… Susi ya?” tanya Molen
memberanikan diri.
“Iya, kamu Molen kan ? Mari silahkan
duduk. Oya, itu siapa?”
“Aku Dodol, yang nelpon
kamu kemaren,” Dodol langsung memperkenalkan dirinya.
“Oo jadi kalian berdua
temenan?”
“Iya, Molen ini sahabatku”
“Susi, ini kupersembahkan
untukmu!” Molen memberikan mawar yang telah dipersiapkannya.
“Oh… co cuwiiit…!”
“Oya, mau pesan apa?”
potong Dodol cemburu.
“Terserah sama kalian aja”
Tanpa sepengetahuan Susi
dan Dodol, ternyata Molen sudah memesan makanan kesukaannya, yaitu namanya
sendiri.
“Ini Dek pesanannya!” seru
Pelayan Cafe.
“Oh iya, terima kasih,”
balas Molen.
“Hah Molen?” Susi terkejut.
“Iya ini Molen, emang
kenapa?”
“Aku nggak suka makan
Molen, aku jijik”
“Oo ya sudah aku minta
maaf, mau kupesan yang lain?”
“Nggak usah,” potong Dodol.
“Kok nggak usah?” Molen
heran.
“Kamu habiskan aja tuh
molen, biar Susi makan aku punya”
“Maksud kamu apa?” Molen
bingung.
“Susi, ini kupersembahkan
untukmu,” Dodol memberikan kado yang dibawanya.
“Dol, kamu jangan
macam-macam ya!” ancam Molen.
“Ini apa?” tanya Susi
heran.
“Buka aja!”
Tanpa menghiraukan Molen,
bola mata Susi kini tertuju ke sebuah kado yang sedang dipegangnya, tanpa ada
rasa bimbang maupun ragu, ia langsung membukanya.
“Wow, ini kamu ya?” canda
Susi sambil memegang beberapa dodol rasa kesukaannya.
“Ya, itu aku, kamu suka?”
“Kamu tau nggak, dodol itu
makanan favoritku lho, apalagi yang rasa cokelat”
“Oya, berarti kita sama
donk”
“Dol, maksud kamu apa sich?
Kamu mau temen makan temen ya?” Molen mulai marah.
“Molen, maaf ya, ini bukan
soal persahabatan, tapi ini masalah per-cin-ta-an”
“Tau apa kamu tentang
cinta?” Molen semakin memanas.
“Yang kutahu… cinta itu in…dah,”
balas Dodol dengan irama lagunya Afgan.
“Oo jadi kamu mau merebut
cewe aku ya?”
“Siapa yang merebut, kamu
masih ingat kan ,
kita ini sedang bersaing, kalah menang biasa aja donk!”
“Oo jadi kamu menganggap
kalo kamu itu udah menang?”
“Ntah-lah, tanya aja
sendiri sama Susi!”
“Susi, sebenarnya kamu
cinta aku kan ?”
tanya Molen dengan penuh kelembutan.
“Iya aku cinta kamu, tapi
maaf, gara-gara Molen tadi aku jadi illfeel sama kamu”
“Jadi, ka kamu…”
“Iya, sekarang aku jatuh
cinta sama Dodol”
“Tapi kenapa?”
“Dodol rasa coklat itu-lah
yang telah merebut hatiku”
“Ha ha ha, gimana Len,
sekarang siapa yang menang?” Dodol keriangan,
“Makanya, ngapain berjuang
demi cinta, cinta cuma butuh…”
“Apa? Butuh Alpenlibe?”
“Bukan, cinta cuma butuh
dodol rasa coklat, daah…!!”
0 komentar:
Post a Comment